Desember (1) : Cerita Hamil, Melahirkan dan Menyusui

Hari itu tanggal 5 Desember, saya dibangunkan oleh sebuah ciuman mesra dan pelukan hangat dari sang suami.

"Ciye yang udah 24 tahun..."
Hari itu milad saya. Bangun tidur semua berjalan seperti biasa, saya menyiapkan sandwich untuk sarapan suami, suami nyuci mobil, sarapan bareng, berjalan berdua ke pojokan komplek tempat gerobak abang sayur biasa mangkal, beberes rumah, nyiapin makan siang, dan makan siang bareng. Setelah makan siang ada yang beda. Saya mules.

Saya kira itu kontraksi palsu, saya masih santai aja, biasanya dibawa tidur dikit juga ilang. Saya bahkan masih sempat ngobrol dengan ayah-ibu saya sambil curhat kalo saya mulai mules. Akhirnya saya coba tidur sambil ditemani Mas Tyo yang memijati kaki saya yang sering kram di usia kandungan 9 bulan ini. Sayangnya saya tidak berhasil tidur nyenyak. Mulesnya ga hilang-hilang.

Sudah dekat waktu ashar, suami bersiap ke musholla komplek untuk sholat. Saya dibangunkan untuk sholat. Dengan menahan rasa yang tidak nyaman di perut saya sholat. Setelah sholat saya mencoba mengajak sang janin bicara. Kira-kira bengini


"Nak, kenapa kok kamu aktif banget hari ini, hari ini bunda ulang tahun lho, terima kasih ya nak sudah jadi anak yang baik, ga rewel, nanti tanggal 16 atau tanggal 20 bunda tunggu ya, kita ketemuan, ketemu ayah juga..."
Setelah ngobrol dengan sang janin saya malah makin mules, makin sakit, saya sampai menitikkan air mata (aih matek lebaynye...). Tapi saya beneran nangis. Mas Tyo yang baru pulang dari musholla kaget melihat istrinya mewek. Dia membujuk saya untuk ke dokter, memeriksakan apakah kandungan saya baik-baik saja. Saya awalnya tidak mau, saya merasa baik-baik saja, hingga akhirnya rasa sakitnya datang makin sering. Saya akhirnya mau juga ke rumah sakit.

Saat bersiap-siap ke rs saya merasa ingin buang air kecil. Setelah BAK saya berbalik dan hendak menekan tombol flush toilet, tapi pandangan saya teralihkan, saya melihat genangan darah di dasar toilet dan setenang mungin mencoba memanggil suami. Suami yang melihat darah tersebut langsung menarik nafas dan tetap tenang, membimbing saya keluar kamar mandi. Kami duduk sebentar, memperhatikan ritme mules saya, dan benar saja, saya mules setiap sepuluh menit. It's the time.

Dengan tenang suami meminta saya berkemas untuk ke RS. Karena kami baru pulang dari Bandung, baju-baju saya tak banyak yang bersih, jadi saya berkemas seadanya. Baju bayi juga belum ada. Sudah dibeli sih, tapi sang baju masih di Palembang, di tangan mertua saya. Karena rencananya tanggal 10 Desember mertua dan ortu saya akan ke Bogor menemani saya melahirkan.

Di mobil saya menelpon sahabat saya yang sudah seperti saudara kandung, Adkhilni Utami. Saya minta tolong dia datang ke RS, saya butuh teman, dan saya rasa suami juga butuh teman sekedar untuk membuat dia merasa nyaman.
duo utami

Saya sampai di RS hampir maghrib, saya masuk IGD, sebenarnya tidak perlu masuk IGD tapi karena saya pasien baru, daripada ribet saya dimasukkan ke IGD agar prosesnya bisa dipercepat. Saya baru pertama kali masuk IGD, suara orang kesakitan, bau darah, bau obat, suara orang lalu-lalang semua bercampur, semuanya lumayan bikin panik. Tapi saya mencoba santai, senyum-senyum sambil menelpon Adhil yang udah siap-siap mau nyusul saya ke RS.

Setelah sekitar setengah jam di IGD saya akhirnya dapet kamar bersalin di paviliun Melati dan ruang perawatan pasca persalinan di paviliun Seruni. Ruang bersalinnya guedeeeee... ada 1 tempat tidur untuk istirahat sebelum persalinan, 1 tempat tidur persalinan, 1 kursi untuk pemeriksaan organ genital, ada ruang dokter, lemari peralatan dokter, meja makan, sofa dan kamar mandi. Kebayang kan segede apa tuh ruangan. Saya pikir ruangannya cukup nyaman buat persalinan.
di ruangan bersalin, perut guweeeeeh....

Sesaat setelah masuk ruangan bersalin, akhirnya Adhil datang ditemani suaminya, Kiki dan bayinya yang super cute, Hafizh. Adhil membawakan semua yang saya butuhkan untuk persalinan, semuanya, termasuk pakaian bayi. Keren ya Adhil..

Sampai jam 10 malam saya masih pembukaan 2, belum bergerak-gerak lagi, Mulesnya juga sudah bisa saya atasi. Saya berjalan keliling ruangan, berpegangan dengan suami tersayang, berdoa terus supaya persalinan lancar sambil berbisik pada sang janin


"Nak, kamu mau keluar kapan? Mau hari ini? Sama kayak bunda ya tanggal lahirnya? atau mau besok? terserah kamu nak, kapan saja kamu siap, jangan lama-lama ya, biar kamu sama bunda ga lama-lama sakitnya, bunda juga udah ga sabar pengen cepet-cepet ketemu..."
Lama menanti sang janin belum juga mau keluar, saya akhirnya memutuskan untuk tidur dan minta suami untuk tidur di kasur yang sama dengannya. Saya peluk erat dia malam itu, saya menangis, begitu haru, begitu berterima kasih pada suami karena saya sebentar lagi menjadi ibu... :')

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih sudah membaca, silakan tinggalkan komentar di tulisan ini