Judul ini merupakan salah satu
judul kesukaan saya di buku Dalam Dekapan Ukhuwah (DDU) karya Ustadz Salim AFillah. Judul ini mengoreksi saya, mengingatkan saya bahwa saya dulu pernah
begitu, membuat saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak seperti kisah ini.
Mari kita simak.
Bismillah
Seorang
gembala suatu hari meraut kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa
dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu
adalah bakal tongkat baru.
Di
tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan di tongkat barunya, salah satu
dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan
lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba
itu kisruh kalang kabut, sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan,
larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jeritan
menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar
dan seurat serat kayu terhujam menyelusup ke dalam jari telunjuknya.
Sang
domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi,
sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalaunya
dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa
sebuah paku berkarat yang menancap di kaki sang domba kini tergeletak di
dekatnya.
Dan
dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit
jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.
Hari
berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradag, dan mengembung
nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan
tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan
menyumpah serapahi mereka.
“Aaw…
Sakit sekali!!!” jeritnya.
-----
Saya
akan mencoba mengutip sedikit pembahasan dari ustadz Salim atas cerita ini.
“Ketika seseorang yang terluka
menyerang, tindakan itu lebih merupakan tanggapan atas apa yang terjadi dalam
diri mereka. Apa yang terjadi di dalam diri itu jauh lebih memberi pengaruh
daripada apa yang terjadi di luar sana..”
Saya
pernah mendengar di radio suatu ketika. Apa yang membuat kita tidak suka saat
kita terluka? Katanya yang membuat kita tidak suka adalah saat kita hancur
berkeping-keping, dunia ini masih baik-baik saja. Harusnya dunia merasakan yang
sama, pikir orang yang terluka.
“Mereka menanggapi di luar batas
kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu
tinggi. Orang-orang yang terluka dalam sejarah dakwah adalah orang-orang
munafik…”
Ancaman
disebut munafik inilah yang pada akhirnya membuat saya sadar bahwa, tidak
pernah baik menjadi orang yang terluka. Dan saya tidak mau masuk ke dalam
golongan munafik. Golongan yang amat dekat dengan neraka.
“Mereka menyangka tiap teriakan keras
ditujukan pada mereka (Qs. Al-Munafiqun : 4)”
“Kesalahan terbesar dari orang-orang
yang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Terlusukan
yang mengganggu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka
yang enggan berubah.”
Ah
bahasa gaulnya orang-orang yang tidak mau move on.
“..dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat
baik-baik telusukan itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari
menampilkan kesakitannya dengan segala cara. Dia menanggapi uluran tangan Rasulullah
yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan ruang
kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi dengan jerit kesakitan. Dia selalu
melebih-lebihkan dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.”
Sampai
pada paragraf ini saya sudah sedu sedan. Suatu ketika seseorang mengkhianati
kepercayaan saya. Sakit sekali rasanya. Tapi saya tidak pernah mau menyembuhkan
luka itu. Saya merawatnya. Saya mengungkit-ungkitnya. Padahal jelas orang yang “bersalah”
itu telah meminta maaf, telah menyatakan bersungguh-sungguh bahwa dia salah.
Tapi saya selalu ingat. Selalu mengingat-ingat lebih tepatnya. Saya menjadi
orang yang su’udzon, saya menjelma menjadi penggosip pribadi untuk diri saya
sendiri, tajassus padanya. Saya betah pada zona “nyaman” yang disebut luka itu.
Disini
saya berhenti. Lalu sedu sedan ini mengantarkan saya pada surat ke 63 di kitab
suci kita. Saya tidak mau menjadi orang-orang yang disebut dalam surat itu. Saya
tidak mau menambah sakit. Maka saya segera ke dokter, berobat. Dokternya hanyalah
Dia. Penyembuh segala sakit. Apalagi urusan sakit hati. Dia-lah ahlinya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar-ra’d : 28)
Wallahu’alam
2 comments
am I subjected on this post? :P
ReplyDeleteI felt so..hehe
weeeew... ge-er :p
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, silakan tinggalkan komentar di tulisan ini