Sakinah Bersocial Media

Jaman social media seperti saat ini nyinyir itu sepertinaya lumrah ya. Terlebih jaman twitter ini. Dimana semua orang seolah berlomba mengeluarkan kicauannya. Setiap orang jadi (merasa) bebas berekspresi. Hingga lupa ada yang mencatat amal baik dan amal buruk, termasuk tweet baik dan tweet buruk.

Semua orang merasa bebas beropini, bebas menasihati walau kadang nasihat tak sampai ke tujuan. Lebih sering no-mention yang berkesan nyinyir hingga lebih banyak yang tersinggung dari pada yang tergugah. Saya tidak menyalahkan, bebas saja. Karena ada pula yang memang berniat baik untuk berbagi ilmu walau ada yang merasa "gue ga butuh" dengan ilmu tersebut. Semuanya memang bergantung pada kebesaran hati. Siapa yang paling berbesar hati menerima nasihat, menerima kebaikan dan ilmu baru, maka ia lah yang paling sakinah dengan social media. 

Fenomena ini membuat saya akhirnya memilih untuk "mencoba santun". Bila ada opini yang bersebrangan, rasanya tak perlu mengumumkan ketidaksukaan saya dengan kalimat "baca noh, woi!". Hingga bila ada yang ingin berbagi pendapat dengan saya, sejak awal tak pernah (seolah) saya jadikan musuh.

Pun bila ada nasihat yang rasanya "kok jleb banget sih", kena pas di saya, saya memilih untuk introspeksi saja. Bila sedikit-sedikit ada nasihat lalu saya jadi tersinggung, kapan saya jadi orang baiknya. Iya, kan?

Saya pun memutuskan untuk berbagi ilmu yang cenderung menasihati pada orang yang mau saja. Terlalu banyak orang yang berbagi membuat saya memilih saya hanya akan membagi yang saya miliki pada yang mau saja. Dipaksakan pada yang tidak mau mendengar dan membacanya hanya membuat orang menjadi muak.

Soal bagi-bagi kebahagiaan, saya akan mencoba lebih sabar, menunggu hingga rasanya tak se-euforia awal-awal diamanahi kebahagiaan itu. Agar tak jadi berlebihan alias lebay.

Begitu pula dengan menunjukkan keromantisan. Rasul memang menampakkan keromantisannya di depan sahabat, tapi tak berlebihan. Menggendong istrinya, menempelkan pipinya ke pipi istrinya, berlomba lari, tapi tak selalu begitu. Lebih sering beliau menyampaikan kebaikan dan syiar lainnya, keromantisan hanya sepersekian persen. Porsinya tepat hingga orang tak muak.

Namun bila ada yang berbeda pendapat ya tidak masalah. Biarkan saja. Semua bebas dan sudah dewasa. Semua sudah bisa berpikir layaknya orang dewasa.

Bila ada pula yang belum merasakan kebahagiaan yang sama, semua ini memang perlu kebesaran hati. Beginilah bersocial media. Sabar-sabar saja. Jika ingin menegur, saya sarankan langsung pada targetnya (hehe). Jika sungkan menegur, ya sudah jangan pula dinyinyiri. Betul, kan?

Ah ini hanya masalah empati.

Ini juga masalah kebesaran hati. Kembali pada diri kita sendiri. Kitalah yang memutuskan memilih jalan mana agar tetap sakinah bersama social media.

*benerin jilbab*

You Might Also Like

8 comments

  1. Buahaha...ngakak dewek baco postingan ini. ah tapi kau terlalu subjektif dengan mengutip "jangan lebay noh, woi" :p
    Nice post. Izin share ah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku dak punyo contoh lain selain kata2mu do hahaha

      Delete
  2. Itu beneran ada label "nyinyir"? Hahahaaaa... :D Oo ... em ... ji~! *malah ngenyinyirin label post yang punya blog*

    ReplyDelete
  3. Wah betul banget, Maakkk :D Lebih memilih tidak melayani debat dalam bentuk apapun :D

    ReplyDelete
  4. ikutan benerin jilbab juga, ah. Males ikutan nyinyir :D

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca, silakan tinggalkan komentar di tulisan ini